GUNUNG PADANG SITUS MEGALITIKUM
GUNUNG PADANG SITUS MEGALITIKUM
sumber : http://sains.kompas.com
Informasi dari mulut ke mulut tentang kebesaran situs megalitik 
Punden Berundak Gunung Padang sudah terjadi sejak ratusan tahun lalu. 
Salah seorang yang mendengarnya adalah Bujangga Manik, pertapa dan tokoh
 spiritual dari Kerajaan Sunda yang melakukan perjalanan Bogor-Bali 
sekitar tahun 1600-an Masehi.
Kini, Gunung Padang masih diminati 
pengunjung. Selama tahun 2011, tercatat sedikitnya 7.000 orang datang. 
Angka yang luar biasa mengingat masih minimnya perhatian hingga buruknya
 infrastruktur menuju ke lokasi tersebut.
Gunung Padang berada di 
Desa Karyamukti, Kecamatan Campaka, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat 
(Jabar), atau sekitar 30 kilometer (km) dari pusat kota Kabupaten 
Cianjur. Masuk ke Kacamatan Campaka dari Kecamatan Warungkondang masih 
dibutuhkan sekitar 20 km untuk sampai ke lokasi punden berundak raksasa 
ini.
Erik Nurdiandi (18), warga Sukabumi, meringis saat gagal 
mengangkat batu di teras keempat situs megalitik Gunung Padang. Ia 
penasaran dengan kebenaran mitos ”batu gendong” tersebut.
Konon, 
orang yang bisa mengangkat batu tersebut citacita dan harapannya bakal 
tercapai. Batu yang akan diangkat itu adalah batu andesit seukuran tas 
punggung berwarna coklat. Bobotnya tidak diketahui dengan pasti. Namun, 
batu itu pernah beberapa kali ditimbang, tetapi hasilnya berbeda-beda.
Batu
 gendong dan mitos Gunung Padang adalah salah satu daya tarik bagi 
wisatawan Gunung Padang. Ari (32), pengunjung yang mengaku sebagai 
pemetik kecapi asal Bandung Barat bercerita, bebatuan di teras pertama 
konon batu-batunya diyakini warga sebagai batu gamelan, yaitu batu yang 
bersuara nyaring bila diketuk dengan batu lain.
Pengunjung memang 
biasa dan leluasa menguji suara batu-batu itu, melaraskannya dengan 
tangga nada gamelan Sunda. Batu ini juga kerap didatangi pesinden atau 
pemusik dengan harapan penampilannya akan menjadi lebih baik.
”Ada
 juga ornamen di teras kelima yang diyakini tempat beristirahat raja 
karena ada batu pandaringan atau pembaringan. Tempat itu sering 
dijadikan tempat mencari wangsit memompa kepercayaan diri. Banyak 
pejabat daerah dan nasional pernah saya lihat datang ke tempat ini,” 
ujar Ari.
Potensi wisata bukan hanya ada di dalam areal Gunung 
Padang. Tahun 2008, saat menjabat Kepala Pusat Perencanaan dan 
Pengembangan Kepariwisataan Institut Teknologi Bandung (ITB), Budi 
Brahmantyo mengusulkan salah satu pengembangan paket wisata minat dari 
Bandung menuju Gunung Padang dengan menggunakan kereta api atap terbuka.
 Selain meningkatkan jumlah pengunjung, hal itu diyakini bisa 
menghidupkan potensi wisata di sekitarnya yang belum tergarap.
Dalam
 perjalanan Bandung-Gunung Padang, salah satu panorama yang bisa dilihat
 pengunjung adalah sejarah era Bandung purba. Di antaranya, pemandangan 
indah di Sungai Cimeta saksi keberadaan Danau Bandung Purba, pegunungan 
karst yang menyimpan fosil laut di Rajamandala, dan tempat tinggal 
manusia prasejarah di Goa Pawon.
Masuk ke Kabupaten Cianjur, pengunjung akan disuguhi kawasan pertanian sangat luas di Cipeuyeum-Ciranjang.
Pertengahan
 tahun adalah saat paling tepat untuk mengamatinya karena para petani 
sedang panen massal. Suasana pedesaan bisa menjadi daya tarik utama yang
 bisa dinikmati wisatawan. Tak kalah menariknya keberadaan stasiun 
kereta api dan terowongan Lampegan buatan Belanda tahun 1879.
Keduanya
 menjadi saksi pembangunan rel kereta api pertama Jakarta-Bandung di 
Indonesia. Selain itu, 6 km dari Gunung Padang, pesona air terjun 
berundak Cikondang dan bentukan lava langka bagian Formasi Beser di 
sekitar Sungai Cikondang menunggu memuaskan minat wisatawan.
”Saat
 ini banyak potensi wisata menuju Gunung Padang belum tergarap. Padahal 
sudah banyak komunitas dan pencinta wisata minat dalam dan luar negeri 
yang tertarik,” kata Budi Brahmantyo.
Namun, perjalanan menuju 
Gunung Padang bukanlah perjalanan yang mudah. Pengunjung harus melewati 
jalan rusak dan berbatu sejauh 15 km sebelum Gunung Padang, termasuk 
meniti jalan sempit yang berbatasan dengan jurang. Celakanya, di 
jalur-jalur tersebut tidak dibuat penunjuk arah sehingga mudah 
membingungkan pengunjung yang baru pertama kali mengunjungi daerah ini.
Mekanisme
 tiket tidak berjalan dengan baik. Jika Anda berkunjung ke sana, 
meskipun ada loket, pengunjung hanya didata menggunakan buku tamu oleh 
warga dan membayar retribusi secara sukarela. Di loket tersebut tidak 
ada penerangan karena bohlam lampu tidak ada.
Susunan batu pun 
masih dibiarkan tanpa arti. Tanpa adanya papan petunjuk atau keterangan 
tertulis di sekitar situs, alhasil pengunjung hanya bisa memanfaatkan 
informasi lisan dari 8 penjaga wisata yang kebanyakan masyarakat 
setempat.
Selain itu, tanpa penataan dan zonasi, injakan kaki 
pengunjung leluasa mampir di semua kawasan. Tangan jahil pun leluasa 
memindahkan bebatuan. Situs ini dikhawatirkan akan rusak dan tidak 
tertutup kemungkinan menghilangkan nilai sejarah yang belum terungkap.
Budi
 Brahmantyo mengatakan, Pemerintah Kabupaten Cianjur sebaiknya belajar 
pengelolaan Stonehenge di Salisbury Plain, Wilshire, Inggris, yang 
berumur kurang lebih sama dengan Gunung Padang. Pengunjung tidak 
dibiarkan leluasa masuk kawasan inti. Bahkan, bila ingin memegang 
susunan batu hanya dilakukan pada hari tertentu dengan biaya sangat 
tinggi.
Eko Wiwid, Direktur Lokatmala Institute di Bandung, 
lembaga yang bergerak dalam bidang pelestarian lingkungan, tidak 
menampik bahwa mitos-mitos yang berkembang tentang Gunung Padang menjadi
 daya tarik bagi masyarakat. Namun, hal itu setidaknya bisa diatur 
dengan memberikan perlindungan pada zona-zona tertentu di situs 
tersebut.
”Seharusnya kawasan situs sudah ditata berdasarkan zona 
inti dan zona pemanfaatan. Izin kunjungan bisa mengadopsi aturan di 
taman nasional. Di Taman Nasional Gede Pangrango, misalnya, ada izin 
untuk pendakian, izin untuk penelitian, dan izin kunjungan wisata. 
Proteksi seperti itu yang seharusnya ditetapkan,” kata Eko.
Kepala
 Subbidang Kepariwisataan di Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jabar, Agus
 Saputra mengatakan telah membangun infrastruktur di sekitar Gunung 
Padang senilai Rp 1,35 miliar pada tahun 2011.
Dana tersebut 
digunakan untuk pembebasan lahan, membuat menara pantau, area parkir, 
dan perbaikan akses jalan. Dana tambahan kemungkinan besar akan 
dikucurkan saat kawasan ini sudah ditetapkan sebagai cagar budaya lewat 
undang-undang yang baru.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata 
Cianjur Imam Haris mengatakan, pengelolaan Gunung Padang masih 
memerlukan banyak perbaikan meskipun statusnya sebagai kawasan cagar 
budaya sudah diperoleh berdasarkan SK Menteri Pendidikan dan Kebudyaan 
tanggal 16 Juni 1968 yang menetapkannya sebagai kawasan cagar budaya 
bersama 53 situs lainnya.
                            



video gunung padang situs megalitikum :










0 komentar:
Posting Komentar
Terimakasih Atas Komentarnya semoga berguna demi blog ini